Konsep Ketuhanan Islam Nomor Esa
Konsep dasar mengenai ketuhanan di dalam Islam dijelaskan dalam satu surah bernama Surah Al-Ikhlas yang hanya terdiri dari empat ayat. Ayat pertama dari surah ini menyebutkan bahwa Tuhan yang Maha Esa bernama Allah. Ayat kedua menjelaskan tentang kemampuan yang dimiliki-Nya sebagai Tuhan, yaitu sebagai tempat meminta segala sesuatu. Kemudian, pada ayat ketiga disebutkan sifat-Nya ialah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Ayat keempat juga menyebutkan sifat-Nya yaitu tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya.[20] Dalam ajaran Islam. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, memiliki nama-nama terbaik, dan memiliki sifat dan karakter tertinggi.[21] Ajaran monoteisme Islam disebut tauhid, yang didefinisikan sebagai pengesaan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan Tuhan dan yang Dia wajibkan.[22] Pengesaan Allah dalam hal-hal kekhususan Tuhan dibagi menjadi dua bahasan: tauhid rububiyah dan tauhid asma' wash-shifat, sedangkan pengesaan Allah dalam hal-hal yang Dia wajibkan dibahas dalam tauhid uluhiyah.[23]
Tauhid (Monoteisme)
Artikel utama: Tauhid
Dalam tauhid rububiyah, Allah diakui sebagai satu-satunya Rabb (Yang Menguasai), sehingga semua selain Allah adalah ‘abd (hamba/budak/yang dikuasai).[24] Allah adalah Rabb Yang Berkuasa dalam penciptaan, pengurusan, dan kerajaan alam semesta.[25] Allah sebagai satu-satunya Pencipta adalah juga Yang Memberi rezeki, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, serta Yang Memberi manfaat dan bahaya.[26] Allah yang mengurus segala sesuatu; semua urusan yang Dia tangani adalah kebaikan; dan Allah Mahakuasa terhadap apa yang Dia kehendaki.[26] Dalilnya adalah ayat dalam Al-Qur'an, “Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya.”[Al-A'raf:54][25]
Allah juga diakui memiliki kesempurnaan nama dan atribut (atribut esensial dan atribut aksidental) selain mencipta, mengurus, dan merajai alam semesta; hal ini dibahas dalam tauhid asma wa sifat (keesaan nama dan sifat).[23] Nama dan sifat Allah diketahui melalui dan ditetapkan dengan Al-Qur'an dan Sunnah pada makna tersuratnya dan tidak bisa ditetapkan oleh akal semata.[27] Namun, nama dan sifat Allah tidak terbatas; selain dari yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah dirahasiakan dalam ilmu gaib-Nya.[28]
Dalam tauhid uluhiyah, Allah diakui sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam segala bentuk peribadahan dari seluruh makhluk-Nya.[23] Pengakuan Allah sebagai satu-satunya Rabb berkonsekuensi penyembahan makhluk kepada Rabb-nya semata.[29] Ibadah atau penghambaan diri kepada Allah merupakan perbuatan makhluk untuk merendahkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya seumur hidup.[30] Ibadah tidak boleh ditujukan sedikit pun kepada selain Allah.[31] Beribadah kepada selain Allah, meskipun juga menyembah Allah, adalah dosa yang paling besar dalam Islam yang disebut dengan syirik (mempersekutukan Allah), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:[31]
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
—Qur'an Luqman:13
Asmaulhusna
Artikel utama: Asmaulhusna
Allah menjelaskan tentang nama-nama dan atribut-atribut ketuhanan di Quran.[32]
Zikir dan Doa
Artikel utama: Zikir
Zikir dan doa adalah dua macam ibadah kepada Allah yang secara umum tidak memiliki batasan waktu dan tempat.[33] Zikir secara bahasa artinya mengingat atau menyebut. Secara istilah, zikir mencakup ibadah memuji Allah, mengingat nama-nama-Nya, nikmat-Nya, keputusan dan takdir-Nya, ajaran agama-Nya, serta janji balasan pahala dan ancaman siksa-Nya.[34] Ibadah zikir mencakup zikir hati dan zikir lisan.[35] Zikir bertujuan untuk mewujudkan kesempurnaan peribadahan kepada Allah.[36] Membaca Al-Qur'an juga termasuk zikir.[37]
Doa secara bahasa artinya memanggil atau meminta. Secara istilah, doa mencakup panggilan pujian dan permintaan kepada Allah.[38] Setiap muslim diperbolehkan untuk berdoa meminta kebaikan atau berlindung dari keburukan.[39] Allah memerintahkan untuk berdoa kepada-Nya dengan doa-doa yang terdapat di Al-Qur'an dan Sunnah.[40] Doa yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an dan Sunnah diperbolehkan selain doa yang melampaui batas, seperti meminta agar mengetahui segala sesuatu atau mengetahui hal gaib karena itu merupakan kekhususan Allah.[40]
Konsep Ketakwaan
Lihat pula: Iman, Ihsan, dan Hadis Jibril
Inti dari ajaran Islam sekaligus sebab berbagai kebaikan adalah takwa kepada Allah.[41] Takwa adalah perbuatan menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya yang dilandasi oleh rasa takut, harap, dan cinta kepada Allah.[42] Seorang muslim menyembah Allah juga dalam rangka berharap masuk surga dan terhindar dari neraka.[43] Istilah takwa merupakan istilah yang paling banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an. Adapun ayat yang paling menjelaskan tentang kedudukan takwa adalah:[44]
Dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah. وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ
—Qur'an An-Nisa’:131
Ajaran ketakwaan Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an dan sunnah (perilaku kehidupan Muhammad) dapat diklasifikasikan berdasarkan hadis berikut ini menjadi iman, islam, dan ihsan. Umar bin al-Khatthab berkata,
Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rasulullah ﷺ , tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi ﷺ sambil menempelkan kedua lututnya pada lutut Nabi ﷺ . sedangkan kedua tangannya diletakkan di atas paha Nabi ﷺ . Laki-laki itu bertanya, "Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang Islam."
Rasulullah ﷺ menjawab, "Islam adalah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadhan dan kamu haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya."
Laki-laki itu menjawab, "Kamu benar." Umar berkata, "Kami heran kepada laki-laki itu. Dia bertanya, lalu dia menilai jawabannya benar." Laki-laki itu bertanya lagi, "Beritahukanlah aku tentang Iman."
Nabi menjawab, "Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan qadar (ketentuan) Allah) yang baik dan yang buruk."
Laki-laki itu menjawab, "Kamu benar." Laki-laki itu bertanya lagi, "Beritahukanlah aku tentang Ihsan."
Nabi menjawab, "Ihsan adalah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat. Kemudian Rasulullah ﷺ bertanya kepadaku, "Wahai Umar siapakah orang yang datang tadi?"
Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui."
Lalu Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya laki-laki itu adalah [Malaikat] Jibril. Ia datang kepadamu untuk mengajarkan agamamu."
— HR. Muslim, 9[45]
Sebuah sekolah Al-Qur'an di Jawa. Oleh: Tropenmuseum, National Museum of World Cultures.
Dari segi keilmuan, semula ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Namun selanjutnya para ulama mengadakan pemisahan, sehingga menjadi bagian ilmu sendiri. Bagian-bagian itu mereka elaborasi sehingga menjadi bagian ilmu yang berbeda. Perhatian terhadap Iman memunculkan ilmu Aqidah (ilmu tauhid, ilmu kalam, atau teologi).[18] Perhatian khusus pada aspek Islam menghadirkan Fiqih (hukum Islam). Sedangkan penelitian terhadap dimensi Ihsan melahirkan ilmu tasawuf, akhlak, dan adab (moral dan etika).[18][46][47]
Kepercayaan
Artikel utama: Akidah Islam
Ajaran pokok dalam Islam adalah hal-hal yang menyangkut kepercayaan atau keyakinan hati terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab suci yang diturunkan-Nya, para utusan-Nya, dan peristiwa di kehidupan setelah kematian.
Muslim juga mempercayai Rukun Iman yang terdiri atas 6 perkara, yaitu:
iman kepada Allah,
iman kepada malaikat Allah,
iman kepada kitab Allah (Al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur dan suhuf),
iman kepada nabi dan rasul Allah,
iman kepada hari kiamat, serta
iman kepada qada' dan qadar.
Fiqih: ibadah dan muamalah
Artikel utama: Fikih
Lihat pula: Rukun Islam
Aspek hukum dalam Islam meliputi berbagai amal perbuatan yang diperintahkan, dilarang, dan dibolehkan.[46] Amal-amal perbuatan tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori dasar menurut arah hubungannya.
Ibadah
Ibadah adalah amal perbuatan manusia berhubungan dengan Allah. Ibadah ada yang murni ibadah,[a] seperti Salat dan puasa; ada yang ibadah sosial,[b] seperti Zakat dan Haji. Keempat amal ini disebut sebagai "Rukun Islam" setelah syahadat.
Muamalah
Muamalah adalah perbuatan manusia berhubungan dengan manusia lain. Hukum yang mengatur masalah muamalah dibagi lagi menjadi empat sub-bagian:
hukum-hukum yang memastikan keberlangsungan dakwah Islam dan mempertahankannya. Hukum-hukum ini adalah yang dimaksud dengan Jihad. Jihad dapat berupa upaya bersenjata dan upaya tidak bersenjata.
hukum-hukum keluarga untuk melindungi dan membina keluarga. Di dalamnya termasuk hukum pernikahan, perceraian, dan warisan.
hukum-hukum perdagangan yang mengatur transaksi bisnis, kontrak sewa-pinjam, dan lain-lain.
hukum-hukum pidana yang mengatur tindakan kriminal dalam masyarakat.[48]
Adab dan akhlak
Bukan hanya ajaran kepercayaan dan hukum, ajaran Islam juga ada yang berkaitan dengan perbuatan hati dan jiwa, nilai-nilai moral, dan aturan perilaku. Islam mengajari agar semua muslim menghiasi diri lahir dan batin dengan mengembangkan sifat-sifat mulia yang tercakup dalam bidang ilmu tasawuf, adab, dan akhlak mulia .[49]
Adab-adab dalam Islam:[50][51]
adab kepada Allah, termasuk adab dalam niat
adab kepada Al-Qur'an
adab kepada Muhammad sebagai utusan Allah
adab kepada diri sendiri: taubat, muroqobah, muhasabah, dan mujahadah
adab kepada semua makhluk
berbakti kepada orang tua
menyambung hubungan kekerabatan (silaturahim)
berbuat baik kepada tetangga
berbuat baik kepada anak yatim, fakir miskin, dan anak jalanan
tidak mencela, berburuk sangka, memata-matai, maupun menyebarkan keburukan orang lain (gosip)
adab persaudaraan, cinta, dan benci karena Allah
adab majelis
adab makan dan minum
adab bertamu
adab bepergian
adab berpakaian
adab tidur
Akhlak-akhlak terpuji dalam Islam:[50]
sabar menghadapi cobaan
bertawakal kepada Allah dan tidak hanya mengandalkan diri sendiri
mendahulukan orang lain dan mencintai kebaikan
adil dan berimbang
kasih sayang
malu
melakukan yang terbaik
jujur
dermawan
rendah diri, tidak sombong
Akhlak-akhlak tercela dalam Islam:[50]
lalim
dengki
menipu
riya'
bangga diri dan tertipu oleh dunia
lemah dan malas
Namun demikian, meskipun telah menjadi ilmu tersendiri, dalam tataran pengalaman kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan. Tidak terlalu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam, atau sebaliknya.[52] Misalnya orang yang sedang shalat, dia harus megesakan Allah disertai keyakinan bahwa hanya Dia yang wajib disembah (Iman), harus memenuhi syarat dan rukun shalat (Islam), dan shalat harus dilakukan dengan khusyuk dan penuh penghayatan (Ihsan).[52]
Nabi Islam Muhammad SAW
Artikel utama: Muhammad dan hadis
Sejarah dan keyakinan muslim menggambarkan Muhammad sebagai seorang manusia dan nabi yang memiliki jasa yang besar.[53] Biografi mengenai kehidupan awalnya tidak banyak diketahui; yang lebih banyak adalah catatan riwayat tentang kehidupannya setelah menjadi nabi dan rasul pada usia empat puluh tahun pada tahun 610.[53] Al-Qur'an menjadi sumber informasi utama mengenai kehidupan Muhammad.[54] Di samping itu, hadis dan sirah nabawi (sejarah kehidupan kenabian) lebih jauh menggambarkan kedudukan dan perannya pada masa awal Islam.[55] Muhammad berperan sebagai penerima wahyu dari Allah dan sekaligus sebagai panutan agar semua muslim berusaha menirunya.[55]
Sebelum Mendakwahkan Islam
Muhammad bin Abdullah (putra Abdullah) lahir pada tahun 570 M di Makkah (sekarang masuk Arab Saudi).[56][c] Ayahnya yang merupakan seorang pedagang meninggal sebelum kelahirannya.[57] Ibunya, Aminah, meninggal saat Muhammad masih berusia enam tahun.[58] Di permulaan masa mudanya, Muhammad tidak memiliki pekerjaan tetap di Makkah yang merupakan kota perdagangan yang sedang berkembang; banyak yang menyebutkannya bekerja sebagai penggembala kambing.[59] Pada usia 25 tahun Muhammad dipekerjakan oleh seorang janda kaya, Khadijah binti Khuwailid, untuk mengawasi angkutan dagangnya ke wilayah Syam (sekarang mencakup Yordania, Lebanon, Suriah, dan Palestina).[60] Muhammad membuat Khadijah terkesan atas hasil pekerjaannya yang mendatangkan keuntungan yang belum pernah ia dapatkan sebanyak itu–selain juga keterangan pembantu Khadijah yang menyertai perjalanan dagang itu tentang perilaku Muhammad–sampai Khadijah menawarkan diri kepada Muhammad untuk menikah.[61] Saat menikah, Khadijah disebutkan telah berusia empat puluh tahun, tetapi pernikahan itu membuahkan dua anak laki-laki (Al-Qasim dan Abdullah, meninggal saat kanak-kanak) dan empat anak perempuan (Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah).[62] Fatimah, putri bungsu Muhammad, adalah yang paling dikenal, yang menikahi sepupu Muhammad, Ali bin Abi Thalib, khalifah (“penerus”; penerus Muhammad sebagai pemimpin) keempat menurut Islam sunni dan imam sah pertama menurut Syiah.[55]
Makkah merupakan pusat kemakmuran perdagangan. Namun, masyarakatnya merupakan masyarakat kesukuan yang mudah bertikai. Beberapa peristiwa yang menunjukkan hal tersebut, yang juga melibatkan Muhammad, adalah Pertempuran Fujjar, Hilful Fudul, serta renovasi Ka'bah dan pemindahan Hajar Aswad.Peristiwa-peristiwa tersebut dan kondisi sosiologis lainnya ikut mempengaruhi Muhammad, yang menjadi seorang pribadi yang sukses di tengah masyarakat Makkah.[55] Dia dihormati atas sifatnya yang bisa dipercaya dan keputusan-keputusannya terhadap persengketaan; dia dikenal dengan gelarnya al-Amīn, “yang dapat dipercaya”. Kejujuran itu lengkap dengan kesukaannya merenung yang akhirnya membuat dia terbiasa menyendiri di Gua Hira'–yang berjarak hampir dua mil di utara Makkah–saat usianya mendekati empat puluh tahun.
Gua Hira'
Di sini, dalam waktu yang lama mengasingkan diri, dia merenungkan kehidupannya dan penyakit yang menimpa masyarakatnya.[55] Di sini, di usianya yang keempat puluh pada bulan Ramadan, pada malam yang disebut Lailatul Qadar, “malam kemuliaan”, Muhammad menerima wahyu pertama dari Allah melalui perantara Malaikat Jibril.[67] Wahyu yang turun adalah lima ayat permulaan Surat al-'Alaq.[68]
(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
(2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
(3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
(4) Yang mengajar (manusia) dengan pena. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
(5) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
—Qur'an Al-'Alaq:1-5
Dengan turunnya wahyu ini, Muhammad diangkat menjadi nabi seperti nabi-nabi yang dikenal dalam agama-agama samawi.[69] Setelah wahyu yang berikutnya turun setelah jeda beberapa hari,[d] yaitu tujuh ayat permulaan Surat Al-Muddassir, Muhammad baru diutus sebagai seorang rasul (“utusan”) yang diperintah untuk mendakwahkan tauhid (monoteisme) dan memperingatkan masyarakatnya dari kesyirikan (politeisme).[70] Selama 22 tahun (610-632), Muhammad terus menerima wahyu yang kemudian dikumpulkan dan ditulis menjadi Al-Qur'an (“bacaan”).[69]
(1) Wahai orang yang berkemul (berselimut)! يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
(2) bangunlah, lalu berilah peringatan! قُمْ فَأَنذِرْ
(3) dan agungkanlah Tuhanmu, وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
(4) dan bersihkanlah pakaianmu, وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
(5) dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji, وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
(6) dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ
(7) Dan karena Tuhanmu, bersabarlah. وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
—Qur'an Al-Muddassir:1-7
Hadis dari Aisyah, istri kedua Muhammad di kemudian hari, menceritakan betapa Muhammad ketakutan saat ditemui malaikat Jibril, yang sosoknya tidak pernah dia lihat sebelumnya.[71] Dia juga tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja terjadi; apakah dia tidak waras atau kerasukan jin.[69] Khadijah menenangkannya dan meyakinkannya bahwa dia tidaklah gila maupun kerasukan jin.[72] Khadijah segera mengajak suaminya itu menemui salah seorang sepupunya yang menganut Kristen, Waraqah bin Naufal,[e] dan Muhammad menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya.[72] Mendengar itu, Waraqah mengatakan,
Itu adalah makhluk kepercayaan Allah[f] (Jibril) yang telah Allah utus kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu! ... tidak seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa ini melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup pada saat itu niscaya aku akan membelamu dengan segenap jiwa ragaku.[73]
Dakwah di Makkah
Bukanlah hal yang mudah mendakwahkan pesan mengenai Tuhan Yang Maha Esa di Kota Makkah karena kota ini adalah pusat agama.[74] Muhammad mengawali dakwahnya secara sembunyi-sembunyi selama tiga tahun untuk menghindari hal yang akan memancing kemarahan penduduk Kota Makkah.[75] Di antara yang pertama menerima ajakannya adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantunya yang saat itu masih kanak-kanak, dan Abu Bakar, mertuanya di kemudian hari dan khalifah pertama.[76] Setelah itu, dia secara bertahap berdakwah secara terang-terangan mulai dari keluarga terdekat dari Bani Hasyim sampai akhirnya kepada penduduk Makkah secara umum.[77]
Meskipun ada sejumlah orang yang masuk Islam menerima dakwahnya, perlawanan yang dia terima selama dakwahnya sangat hebat.[78] Bagi masyarakat oligarki Makkah yang makmur dan kuat, pesan mengenai keesaan Tuhan, beserta penentangan terhadap gaya hidup Makkah yang tidak merata secara sosioekonomis, telah memunculkan penolakan langsung tidak hanya terhadap agama tradisi yang politeistik, tetapi juga terhadap kekuasaan dan hak istimewa yang telah mereka nikmati, serta mengancam kepentingan politik, sosial, dan ekonomi mereka.[78] Muhammad mencela transaksi-transaksi tidak benar, riba, serta pengabaian dan eksploitasi terhadap janda dan anak yatim.[78] Dia membela hak-hak orang-orang miskin dan orang-orang tertindas, menekankan bahwa orang-orang kaya memiliki kewajiban atas orang-orang miskin.[78] Sebagai bentuk komitmen atas kewajiban itu, ditetapkanlah zakat atas harta dan produk pertanian dan perkebunan.[78] Persis seperti Amos dan Yeremia sebelum dia, Muhammad merupakan seorang “pemberi peringatan” dari Tuhan untuk menegur para pendengarnya untuk bertobat dan bertakwa kepada-Nya, karena hari penghakiman sudah dekat:
(49) Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku (diutus) kepadamu sebagai pemberi peringatan yang nyata.” قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ نَذِيرٌ مُّبِينٌ
(50) Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mem-peroleh ampunan dan rezeki yang mulia. فَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
(51) Tetapi orang-orang yang berusaha menentang ayat-ayat Kami dengan maksud melemahkan (kemauan untuk beriman), mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka Jahim. وَالَّذِينَ سَعَوْا فِي آيَاتِنَا مُعَاجِزِينَ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
—Qur'an Al-Hajj:49-51[78]
Awalnya, penduduk Makkah hanya berusaha agar orang-orang dari luar Makkah tidak mendengar dakwah itu dan melakukan perlawanan verbal dengan argumentasi dan celaan.[79] Kematian paman dan pelindungnya, Abu Thalib, dan Khadijah pada tahun 619 menambah kesedihannya.[80] Perlawanan meningkat menjadi tindakan-tindakan persekusi sampai pemboikotan massal.[81] Karena kondisi di Makkah memburuk, Muhammad mengizinkan para pengikutnya untuk hijrah ke luar Makkah, seperti Habasyah (Etiopia) yang merupakan wilayah Kristen, untuk mendapat keamanan.[80]
Dakwah di Madinah
Di Madinah, Muhammad memiliki kesempatan sangat luas untuk mewujudkan pemerintahan dan menyebarluaskan dakwah atas perintah Allah, berkat posisinya sekarang sebagai nabi dan pemimpin masyarakat dari Negara-kota Madinah.[80]
Sumber hukum dan ajaran Islam
Artikel utama: Sumber-sumber hukum Islam
Contoh halaman cetakan Al-Qur'an, terlihat halaman berisi Surah Al-Fatihah. Surah tersebut merupakan surah pertama dalam Al-Qur'an.
Fikih (hukum) adalah kajian keilmuan primer dalam Islam.[82] Jika dalam kekristenan teologi adalah kajian primernya, dalam Islam, seperti halnya dalam Yudaisme, hukum lebih menjadi titik berat karena islam berarti tunduk kepada hukum Allah.[83] Meskipun demikian, penekanan pada ajaran hukum yang bersifat praktis tidaklah mengesampingkan ajaran kepercayaan.[83] Kepercayaan (iman) dan praktek yang benar (amal shalih) saling berkaitan.[83]
Dalam masa pembentukannya, yaitu selama masa kenabian, ajaran-ajaran dan hukum-hukum Islam diambil dari dua wahyu sebagai sumber primer: Al-Qur'an dan sunnah.[84] Al-Qur'an berlaku sebagai sumber pokok dan cetak biru untuk kehidupan Islami, sedangkan kehidupan sehari-hari Nabi (sunnah) berlaku untuk menerangkan prinsip-prinsip dalam cetak biru tersebut serta untuk menunjukkan cara mengaplikasikannya.[85] Pada masa sahabat ketika mereka bersentuhan dengan sistem pemerintahan, budaya, dan pola perilaku masyarakat yang baru yang belum pernah disinggung semasa kenabian, para khalifah dan sahabat lain harus menggunakan proses pengambilan keputusan berdasarkan ijmak (“konsensus”) dan ijtihad.[86] Dalam tahap perkembangannya pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, madzhab fikih bermunculan.[87] Para imam mazhab, seperti Imam asy-Syafi'i, dan ulama lainnya tetap menitikberatkan pada penggunaan Al-Qur'an dan sunnah sebagai sumber primer sebelum merujuk pada pendapat sahabat, baik pendapat konsensus maupun perseorangan, dan sumber atau metode penetapan hukum lainnya berupa qiyās (“analogi”), istiḥsān (“preferensi hukum”), dan ‘urf (“adat kebiasaan”).[88]
Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah pokok dari semua argumentasi dan dalil. Al-Qur'an adalah dalil yang membuktikan kebenaran risalah Muhammad, dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu ajaran. Al-Qur'an juga merupakan kitab Allah terakhir yang menegaskan pesan-pesan kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an agar kaum Muslim senantiasa mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
—Qur'an An-Nisa’:59[78]
Mengembalikan persoalan kepada Allah, berarti mengembalikannya kepada Al-Qur'an.[45] Sedangkan mengembalikan persoalan kepada Rasul berarti mengembalikannya kepada hadits/sunnah Rasul.
Meskipun Al-Qur'an menyatakan diri, “Inilah (Al-Qur'an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa,”[Ali Imran:138] yang disebutkan di dalamnya bukanlah aturan hukum yang komprehensif. Bagian demi bagian Al-Qur'an diturunkan secara berkelanjutan selama rentang waktu 22 tahun lebih untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh Muhammad dan para sahabatnya.
Hadis/Sunnah
Artikel utama: Hadis dan Sunnah Mutawatir.
Sumber Asli : Wikipedia Ilegal Cy
Posting Komentar untuk "Konsep Ketuhanan Islam Nomor Esa"