Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Imam Ahmad dan Ath-Thabari

imam ahmad dan ath thabari

Imam Ahmad

Namanya Ahmad bin Hambal Syaibani Al-Marwazi dan biasa dipanggil Abu Abdullah gelarnya Imam Ahli Sunnah. Dilahirkan di Baghdad tahun 164 H. Posturnya tinggi tegap, kulitnya sawo matang dan perangainya santun. Mencari ilmu di Mekkah, Madinah, Syam, Yaman, Kufah, Bashrah dan di tempat lain. Tidak berkeluarga kecuali setelah usianya empat puluh tahun, sehingga urusan mencari nafkah dan nikah tidak mengganggu waktunya untuk mencari ilmu. Berguru kepada Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin Saad, Yahya Al-Qathan dan kepada yang lain. Meriwayatkan dari Baghawi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Dunya dan yang lain. Imam Syafi'i berkata kepadanya ketika bepergian yang kedua ke Baghdad: "Wahai Abu Abdullah, kalau menurutmu Hadits ini sahih dan kamu mengabariku, maka aku akan pergi mencari ke Hijaz, Syam, Irak, atau Yaman. "Dia selalu membaca Hadits dari kitab, tidak pernah menyampaikan Hadits dengan hafalannya. Dia merupakan seorang Imam Hadits di zamannya.

Dia diajak untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk bukan kalamullah, namun menolak pendapat tersebut, kemudian ditangkap, disiksa dan baru dikeluarkan pada tahun 220 H. Dia salah satu Imam empat dan pemilik madzhab yang diikuti. Dia selalu menjadi contoh dalam masalah zuhud, ilmu, takwa, ibadah, teguh dalam membela kebenaran. Lantunan do'a yang paling sering diucapkan: "Allahumma sallim, sallim." Abu Daud berkata: "Majlis Imam Ahmad adalah majlis akhirat, tidak pernah terdengar di dalamnya masalah duniawi. Tidak sekalipun saya melihat Imam Ahmad menyebut masalah dunia."

Suatu hari seorang laki-laki datang menemuinya dan berkata: "Sesungguhnya ibuku lumpuh sudah dua puluh tahun lamanya. Ibu menyuruh saya menghadapmu untuk memintakan do'a untuknya." Imam Ahmad marah dan berkata: "Kita lebih lumpuh, suruh ibumu mendo'akan kami, daripada kami mendo'akannya." Kemudian atas desakannya dia berdo'a kepada Allah untuk ibunya. Orang laki-laki itu pulang mengetuk pintu rumah, dan tidak disangka-sangka ibunya membukakan pintu dengan keadaan bisa berjalan, sambil berkata: "Allah telah memberikan kesembuhan untukku."

Kelompok Mu'tazilah mengajak Khalifah Al-Makmun untuk mengkuti pendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan terlepas dari sifat-sifat Allah. Khalifah tidak menerima pendapat mereka dan tetap berpegang kepada madzhab salaf. Namun ketika kelompok mereka menguasai khilafah semua digiring mengikuti pendapatnya. Mereka mengirim surat kepada gubernur Baghdad yaitu Iskhak bin Ibrahim untuk mengajak masyarakat mengikuti pendapat Mu'tazilah ini, namun Iskhak dan ulama Hadits menolak ajakan tersebut. Kemudian Baghdad ditekan dengan embargo bahan makanan. Imam Ahmad bin Hambal terus melakukan aksi penolakan bersama Muhammad bin Nuh Al-Jundiy, akhirnya keduanya ditangkap dan dilaporkan kepada khalifah. Ketika sampai di negeri Rahbah keduanya didatangi orang baduwi, bernama Jabir bin Amir memberi salam kepada Imam Ahmad dan berkata: "Kamu adalah seorang utusan kaum, jangan sekali-kali mengkhianati mereka, kamu adalah pimpinan kaum, jangan sekali-kali mengikuti ajakan Mu'tazilah, kalau kamu mencintai Allah, bersabarlah dalam pendirianmu karena tidak ada pembatas antara kamu dan surga kecuali dibunuh. Kalau tidak menyerang kamu akan dibunuh, kalau hidup, hiduplah secara terpuji." Imam Ahmad mmengatakan: "Ucapannya membuatku teguh untuk tetap menolak terhadap ajakan mereka." Ketika rombongan sudah dekat dari pendopo kekhalifahan seorang hamba mendekat dan meneteskan air mata sambil berkata: "Wahai Abu Abdullah, sesungguhnya Al-Makmun tidak pernah menghunus pedangnya seperti yang dia lakukan sekarang, dia bersumpah atas nama kekerabatan dengan Rasulullah jika Anda tidak mengatakan Al-Qur'an sebagai makhluk." la akan membunuhmu dengan pedangnya Imam Ahmad terduduk, matanya menatap langit dan berkata: "Wahai Tuhanku, apa yang terjadi dengan penguasa fajir ini, sampai dia tega memukul dan membunuh. Ya Allah, kalau benar Al-Qur'an kalam-Mu bukan makhluk, cukupkanlah kezhalimannya." Kemudian terdengarlah jeritan atas kematian Makmun pada sepertiga malam terakhir.

Terdengar kabar bahwa Al-Mu'tashim menjabat kekhalifahan sesudah Makmun dan memasukan Ahmad bin Abi Daud ke jajaran penasehatnya.

Permasalahan bertambah parah, Imam Ahmad beserta para tawanan digiring ke Baghdad dan disiksa, kaki mereka dirantai, Muhammad bin Nuh wafat dalam perjalanan ini, dan Imam Ahmad menshalatinya. Ketika sampai di Baghdad -waktu itu bulan Ramadhan- Imam Ahmad dimasukan ke dalam penjara antara dua puluh delapan sampai tiga puluh bulan. Selama itu dia menunaikan shalat bersama narapidana yang lain, sedang rantai besi melingkar di kaki mereka. Kemudian atas keputusan Khalifah Al-Mu'tashim dia dikeluarkan dari penjara untuk menghadap khalifah.

Untuk menempuh perjalanan ikatan rantai ditambah, dia berkata: "Saya tidak dapat berjalan dengan ikatan rantai seberat ini, kemudian aku dibawa dengan dengan teroli yang ditarik kuda hingga sampai ke istana Al-Mu'tasim. Saya dimasukan ke dalam ruangan gelap tertutup, dan ketika akan mencari air wudhu saya tidak mendapatkan air kecuali sedikit dalam bejana, maka saya berwudhu. Dalam kegelapan saya tunaikan shalat tanpa mengetahui arah kiblat dengan pasti, namun ternyata saya menghadap ke arah yang benar. Setelah usai, saya dipanggil menghadap Mu'tasim yang sedang duduk bersama Ibnu Daud.

Percakapan antara Mu'tasim dan pengikutnya dengan Imam Ahmad berjalan sangat argumentatif, sebagai berikut: Imam Ahmad: "Ya Amirul mukminin, untuk apa Rasulullah mengajak?" Mu'tasim: "Untuk bersaksi tidak ada tuhan selain Allah." Imam Ahmad: "Saya pun bersaksi tidak ada tuhan selain Allah." Mu'tasim: "Menurutmu apa Al-Qur'an itu?" Imam Ahmad: "Al-Qur'an adalah ilmu Allah, demi Allah, barang siapa menyangka ilmu Allah itu makhluk maka telah kafir." Mereka terdiam satu sama lain namun memendam amarah, sehingga memutuskan untuk menyiksa imam Ahmad. Imam Ahmad: "Ya Amirul mukminin, sesungguhnya Rasul  bersabda: "Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada tuhan selain Allah." Beliau juga bersabda: "Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mengucapkan tidak ada tuhan selain Allah, kalau mengucapkannya, maka haramlah bagiku darah dan hartanya."

Pengikut Mu'tasim berkata: "Ini kelewatan ya Khalifah, biarkan kami menghukumnya." Mereka memukuliku sehingga tak sadarkan diri. Setelah siuman saya mendengar Khalifah mengajakku untuk mengikuti paham mereka, saya kembali menolak. Pada saat itu juga pukulan demi pukulan menghujani tubuhku hingga saya terjatuh pingsan untuk kesekian kalinya. Dalam kondisi tak sadarkan diri ini saya di lepaskan. Saya tak tahu ada di mana.

Ketika sadar saya berada di sebuah rumah milik Ibrahim dan kakiku sudah tidak dirantai Iagi. Hari itu adalah tanggal dua puluh lima Ramadhan tahun 221 H. Ketika dibawa ke rumah Ibrahim, Imam Ahmad tetap menyempurnakan puasa, walaupun tuan rumah menyuruh untuk membatalkan, karena kondisinya yang sangat lemah.

Diceritakan ketika disiksa oleh pengikut Khalifah pakaiannya robek sampai terbuka auratnya, kemudian memohon kepada Allah "Wahai Dzat tempat hamba meratap, jika Engkau mengetahui saya membela kebenaran, janganlah Engkau menyiksaku karena saya tidak menutup aurat." Seketika atas ijin Allah pakaiannya kembali menutup aurat seperti sediakala. Pukulan dan cambukan yang melukai tubuhnya tidak kurang dari delapan puluh deraan yang menyakitkan. Pada akhirnya Mu'tasim menyesal dan mengakui kesalahannya dan mendo'akan kesembuhan untuknya.

Semua orang Islam dan khalifah berbahagia, setelah kondisinya sehat, walaupun kedua ibu jarinya tetap cacat sebagai saksi. Dia memaafkan semua orang yang menganinayanya kecuali ahli bid'ah, dan membaca ayat: "Maka berilah ampunan dan berjabat tanganlah kamu sekalian", kemudian berkata: "Apakah ada manfaatnya bagimu dengan menyiksa saudara muslim?, padahal Allah telah berfirman: "Barangsiapa memaafkan dan membuat perbaikan maka pahalanya dari Allah, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orangyang berbuat zalim." Dan pada Hari Kiamat orangorang memanggil-manggil siapa yang pahalanya di sisi Allah, maka tidaklah menjawab kecuali orang yang memberi maaf.

Ada empat ulama yang hatinya tetap teguh tidak mengikuti ajakan kaum Mu'tazilah, mereka adalah Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Nuh bin Maimun Al-Jundi An-Naburi yang wafat di tengah perjalanan, Nu'aim bin Hammad Al-Khuza'i, dan Abu Ya'qub Al-Buaithi, keduanya wafat di balik jeruji penjara.

Diantara do'anya: "Ya Allah barangsiapa dari umat ini yang tidak benar, dan dia menyangka bahwa dia benar, maka kembalikan dia kepada kebenaran agar supaya menjadi ahli hak." Diantara ucapannya: "Kesabaran atas kefakiran adalah sebuah derajat yang tidak diperoleh kecuali oleh para pembesar."

Imam Adz-Dzahabi berkata: "Dia adalah orang yang pertama memuji dengan ucapanku, atau lisannya menyebut dengan kata-kataku." Ibnu Al-Madini berkata: "Sesungguhnya Allah memuliakan Islam melalui Abu Bakr Ash-Shiddiq di hari kemurtadan, dan melalui Ahmad bin Hambal di hari yang penuh dengan fitnah." Yahya Al-Qathan berkata: "Tidak ada tokoh datang dari Baghdad yang saya cintai kecuali Ahmad bin Hambal." Quthaibah barkata: "Wafatnya Sufyan Tsauri matinya zuhud, wafatnya Syafi'i matinya Sunnah, dan wafatnya Ahmad bin Hambal munculnya bid'ah." Ibnu Ma'in berkata: "Pada diri Ahmad bin Hambal sebuah perilaku/ sifat yang tidak pernah saya lihat di dunia, dia sosok ahli Hadits, hafizh, alim, wara', zuhud dan cerdas."

Karya-karyanya antara lain: Al-Musnad di dalamnya 40.000 Hadits, Az-Zuhd, Fadailu Ash-Shahabah, Al-Iman, Al-Manasik, Al-Rad ala Zanadiqah, dan lain-lain. Mengakhiri hayatnya di Baghdad pada tahun 241 H. Abdul Wahab Al-Warraq berkata: "Dari yang kami dengar, pelayat jenazah di masa Jahiliyah dan masa Islam tidak pernah sebanyak pelayat janazah Imam Ahmad bin Hambal." Al-Warkani berkata: "Dua puluh ribu dari orang Yahudi, Nashrani dan Majusi berduyun-duyun masuk Islam di hari wafatnya Imam Ahmad bin Hambal." Ahmad bin Kharzad Al-Anthaqi berkata: "Saya melihat dalam mimpi bahwa kiamat telah tiba dan Allah memanggil-manggil di bawah arsy, masuklah wahai Abu Abdullah, Abu Abdullah, Abu Abdullah ke dalam surga. Saya bertanya kepada malaikat di dekat saya, siapa gerangan mereka? Dia menjawab, Malik, Ats-Tsauri, Syafe'i dan Ahmad bin Hambal."


Ath-Thabari

Namanya Muhammad bin Jarir bin Yazid Ath-Thabari yang biasa dipanggil Abu Ja'far dan dikenal dengan nama Ath-Thabari karena dinisbatkan ke nama negaranya Thabrastani. Dilahirkan di desa Amil Thabrastani pada tahun 224 H. Warna kulitnya coklat, badannya tegap tinggi dan matanya lebar. Berkeliling negeri mencari ilmu sendirian tidak seorangpun teman menyertainya. Dia diberi kekuasaan atas wilayah yang penuh kezhaliman, namun ditolaknya dan memilih menjadi ahli fikih, mujtahid, sejarawan, mufasir, memahami Sunnah, ilmu Al-Qur'an dan atsar para sahabat serta tabi'in.

Awalnya pengikut madzhab Syafi'i di masa mudanya, kemudian menjadi madzhab fikih tersendiri. Meriwayatkan dari Ath-Thabarani, Abu Bakr, Syafi'i, Muhammad Syaibani dan dari yang lain. Ibnu Atsir berkata: "Abu Ja'far orang yang paling tsiqat dalam mengungkap sejarah, di dalam tafsirnya sarat dengan ilmu dan legalitasnya." Imam Adz-Dzahabi berkata: "Dia orang yang tsiqat, hafizh, jujur, imamnya para mufassir, fuqaha, baik ketika mufakat maupun ikhtilaf, pakar sejarah dan antropologi, mengetahui qira'at dan linguistik." Khalifah memintanya untuk mengarang buku fikih, kemudian dia karang kitab dengan judulAl-Khafif, kemudian diberi imbalan seribu dinar namun dikembalikan.

Setiap hari menulis empat puluh halaman, diantara karyanya; Jami al Bayan Fi Tafsir Al-Qur'an yang dikenal dengan sebutan TafsirAth-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulukyang dikenal dengan Tarikh Ath-Thabari, dan Tahdzib al-Atsar. Akhirnya wafat di Baghdad pada tahun 310 H.

insyouf.com
insyouf.com Religi dan Motivasi + Wawasan

Posting Komentar untuk "Kisah Imam Ahmad dan Ath-Thabari"